Minggu, 01 Mei 2016

Kawah Sikidang

(3)
Minggu, 20 April 2014


Kawah Sikidang

     Jarak dari Telaga Warna dan Telaga Pengilon untuk sampai ke Kawah Sikidang hanya sekitar 5 menit. Sekedipan mata pokmen. Hujan masih belum berhenti, meski sudah tidak terlalu deras. Kalau begini ceritanya, harus sedia payung. Bagi pengunjung Kawah Sikidang yang tidak membawa payung, jangan khawatir karena di lokasi ada yang menyewakan payung. Ongkosnya Rp 5.000 saja. Se-pu-as-nya.

     Alunan musik dari pengamen "berseragam" seperti kelompok marching band menyambut kami. Musik yang dibawakan pun enak didengar. Saya selalu suka sama pengamen yang niat seperti ini. Jadi bukan yang asal bunyi, asal mangap, asal dapet duit, asal abang senang.





    Sebentar saja saya menikmati musik yang saya bilang "musik selamat datang". Setelah itu, saya langsung berjalan menuju ke kawahnya. Jangan lupa kenakan masker, karena bau belerangnya menyengat sekali. Pengunjung dilarang untuk mendekat ke kawah. Berbahaya. Meski sudah diberi pagar pembatas, tapi demi mencegah hal yang tidak diinginkan, ada baiknya tidak terlalu dekat. Kalau sekiranya saya terlalu dekat dengan kawah, ya jangan ditiru. Tapi melihat air kawah yang "umup", saya jadi merutuk diri sendiri. Kenapa tadi tidak bawa Indomie dan beberapa rawit? 



Kemebul

 

     Kawah Sikidang, kalau dari namanya, orang-orang awam akan menganggap mungkin dulunya di kawah ini banyak dihuni oleh hewan kijang (kidang, dalam bahasa Jawa). Apa benar seperti itu? Jadi begini, ketika masuk ke lokasi kawah, terdapat beberapa lubang besar menganga yang mengeluarkan asap yang tidak terlalu tebal. Lubang-lubang besar tersebut merupakan kawah utama di masa lalu (mainnya masa lalu-masa laluan. Cedi.). Sementara kawah utama saat ini berada di jarak sekitar 1 kilometer dari pintu masuk. Selain itu, masih terdapat beberapa kawah kecil yang diperkirakan suatu saat akan menjadi kawah utama, menggantikan kawah utama saat ini. Karena letak kawah utama yang berpindah-pindah inilah, kawasan ini diberi nama "Sikidang". Kawah utama yang berpindah-pindah ini disamakan dengan sifat kijang yang senang melompat kesana-kemari. (Sumber)



Di sepanjang jalan menuju kawah utama banyak terdapat beginian. Mungkin ini yang dimaksud kawah-kawah kecil. 

Belum siap foto! Jangan ditiru, plis. Saya juga baru sadar kalau saya terlalu dekat dengan lubang kawah. 


Mundur lagi beberapa langkah, saya sudah jadi indomie siap saji.









     
Karena bau belerangnya menusuk sekali, kami hanya sebentar jalan-jalan dan foto-foto di sekitar kawahnya. Setelah itu kami menuju ke area oleh-oleh. Saya menyebutnya "pasar mini", karena kios-kios pedagang disini berderet seperti di pasar (apasih?). Yang mau cari oleh-oleh khas Dieng, semua komplit disini. Terutama ikonnya Dieng, apalagi kalau bukan...Purwaceng! Eh, bukan bukan. Carica, maksud saya. 


     Untuk yang belum tahu, carica adalah sejenis buah pepaya yang pohonnya hanya bisa tumbuh dan berkembang di beberapa tempat tertentu di dunia, salah satunya di dataran tinggi Dieng. Jenis pohon carica ini, dari akar, batang pohon, hingga daunnya memang serupa dan sama persis dengan pohon pepaya, bahkan daunnya juga sama pahitnya. Ketika diamati, carica nampak seperti kakao. Namun sewaktu buah carica telah dikupas, wujudnya tak jauh berbeda dengan kupasan pepaya atau kupasan mangga. Ketika dibelah, maka biji buah carica akan jelas terlihat jauh berbeda bila dibandingkan dengan biji buah pepaya, karena justru bentuknya lebih menyerupai biji buah markisa. Yang perlu diketahui, jika kita mengonsumsi carica kemasan instan siap konsumsi, baik cup atau botol, maka bahan air dalam kemasan itu sebenarnya adalah air yang berbahan isi biji carica tersebut. Catatan penting, carica tidak boleh dikonsumsi langsung tanpa diolah terlebih dahulu, karena akan menyebabkan rasa gatal di lidah dan bibir. Biasanya carica diolah dalam bentuk manisan dan sirup (Sumber). Saya suka banget, rasanya sepintas seperti buah pakel, seger, manis, asem. Kayak ketek abang-abang becak.





     
Selain carica, banyak pula dijajakan camilan-camilan lainnya yang bisa kalian bawa pulang sebagai buah tangan. Hasil bumi dari Dieng pun juga sah-sah saja untuk dijadikan oleh-oleh, misalnya kentang dan cabe khas Dieng. Cabenya, yawlaaaa! Pedasnya mantab di jiwa! Bentuknya lemu ginuk-ginuk. Dikasih oleh-oleh cabe ini mau banget dah saya!



Lomboke lemu

     Saat sedang melihat-melihat isi pasar, mata saya berhenti di satu angkringan. Enak nih, hujan-hujan mampir di angkringan. Ternyata rombongan saya sudah pada pewe ngeteh-ngeteh disitu. Saya pun menuju ke angkringan. Yang tidak boleh dilewatkan adalah menyicipi penganan khas Dieng yang lain, yaitu tempe kemul. Haduuuhhh juarak juarak juarak! Tempe sedang hangat-hangatnya, disajikan pas hujan, tapi sayang tanpa pelukan. 

     Di angkringan ini juga menyediakan gorengan lainnya, kentang goreng, dan purwaceng. Yang terakhir ini nih yang sepertinya juga jadi ikonnya Dieng. Di sepanjang jalan menuju Dieng, banyak warung yang menjual Purwaceng. Bahkan dalam agenda tahunan Dieng Culture Festival, salah satu agendanya adalah minum purwaceng bersama. Katanya rasanya itu kayak jahe, hangat, seperti pelukan Reza Rahadian. Kalau kalian tahu serbat (minuman jahe instan), kira-kira rasanya seperti itu. Katanya. Eh, ngomong-ngomong saya belum pernah ke DCF. Ada yang mau ngajak saya? Tahun ini atau tahun depan atau depannya lagi atau kapan saja boleh dah. Komen ya. Ehm.





     
Hari mulai beranjak sore. Masih ada dua lokasi lagi yang menanti. Harusnya lebih pagi lagi berangkat dari rumah, biar tidak diburu waktu. Setelah buibu kelar belanja oleh-oleh, kami pun bergegas menuju lokasi selanjutnya.  *teleport*

Terimakasih.

Ketjoep!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar