Minggu, 01 Mei 2016

Foto Sama "Buta" di Candi Arjuna

(4)
Minggu, 20 April 2014    

     
Hujan mulai sedikit reda ketika kami sampai di Kompleks Candi Arjuna. Turun dari kendaraan, saya langsung disambut aroma kentang goreng yang dijajakan di halaman kompleks candi. Kentang goreng ini memakai kentang khas Dataran Tinggi Dieng dan bisa dicampur berbagai macam bumbu, seperti BBQ, pedas, pedas manis, asin-asin upil, maupun asem-asem ketek. Seporsi kentang goreng yang masih hangat-hangatnya (kayak kamu dan pacar barumu), bisa ditebus dengan harga Rp 10.000. Lumayan untuk menambah kehangatan, setelah sekian lama tanpa pelukan. 

     Untuk menuju ke lokasi candi, kami melewati jalan setapak yang di sisi kanan dan kirinya dihiasi hijau pepohonan dan bunga-bunga cantik. Sangat memanjakan mata dan membuat lelah hilang seketika. Di tengah jalan, kalian juga bisa berfoto dengan badut yang memakai kostum tokoh film kartun, seperti yang saya jumpai, Mr. Donald Bebek dan Mrs. Desi Bebek. Di dalam kompleks candi ada badut Teletubies juga.









Kurang tahu apa namanya. Cantik, karena warnanya ungu.


Bunga terompet.

     Keindahan alam yang memanjakan mata belum berhenti. Sesampainya di area candi, view cantik masih tersaji di depan mata. Area candi dengan background alam Dieng berselimut kabut itu perpaduan yang luar biasa antara keindahan dan "kemagisan". Saya sampai tidak bisa berkata-kata untuk menggambarkan betapa ciamiknya view disini.








Sebentar lagi bikin girlband.
  


     Kompleks Candi Arjuna ini terdiri dari 5 bangunan candi, yaitu Candi Arjuna, Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Selain Candi Semar, keempat candi lain merupakan candi utama yang digunakan untuk tempat bersembahyang. Melihat dari bentuk serta ornamen yang terdapat pada setiap candi, diperkirakan keempat candi tersebut dibangun pada masa yang berbeda. Candi Arjuna yang dibangun paling awal alias candi tertua, diperkirakan dibangun pada abad 8 Masehi oleh Dinasti Sanjaya dari Mataram Kuno. Sedangkan Candi Sembadra merupakan candi yang dibangun paling akhir. Perkiraan ini didasarkan pada perbedaan bangunan candi. Candi Arjuna masih sangat kental dengan gaya candi-candi dari India. Sementara pada Candi Sembadra sudah terlihat pengaruh kebudayaan lokal yang sangat kuat. Pengaruh ini salah satunya dapat dilihat dari relung yang ada pada candi. Candi-candi bergaya India memiliki relung yang menjorok ke dalam, sedangkan pengaruh kebudayaan lokal memiliki relung yang menjorok ke luar. Candi Arjuna, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra merupakan candi yang dibuat untuk menyembah Dewa Syiwa. Sementara Candi Srikandi dibangun untuk menyembah trimurti (tiga dewa), yaitu Syiwa, Brahma, dan Wisnu. Dari empat candi utama yang ada di kompleks ini, hanya Candi Arjuna yang memiliki candi sarana, yaitu Candi Semar. Candi sarana merupakan candi yang digunakan sebagai tempat berkumpul atau menunggu para umat sebelum masuk ke candi utama. (Sumber) 





     Karena hari sudah sangat sore, saya tidak sempat menjelajah sampai ke sudut-sudutnya. Hanya di sekitaran candi saja. Saya dan rombongan juga sempat berfoto dengan segerombolan orang yang memakai kostum ala-ala buta (buto / raksasa), berambut panjang, hitam, tatapan mata yang medeni, dan mempunyai taring yang panjang. Untuk berfoto bersama mereka, pengunjung dikenakan tarif Rp 10.000, per 3x cekrekan.





     Mengingat senja sebentar lagi tiba, kami segera saja bergegas pulang karena masih harus "turun gunung". Turun dari Dieng ketika hari beranjak gelap lumayan mengerikan sepertinya. Kami tidak sempat ke Dieng Plateu Theater, karena kendala waktu. Dieng Plateu Theater adalah tempat pemutaran film dokumenter tentang Dieng. Kelihatannya sih seru. Boleh lah dicoba lain waktu. 

     
Di tengah perjalanan pulang, saya masih tidak bisa berhenti berdecak kagum akan keeksotisan Dieng. Sekitar pukul 24.00, alhamdulillah sampai rumah dengan selamat, meskipun sewaktu sampai Klaten (untuk rute pulang, kami lewat Jogja) saya sempat was-was karena bapak sopirnya ngantuk dan doi nekat jalan. Itu cukup bikin hidup saya tidak tenang, lha sini duduknya di belakang sopir. Waktu ditawarin permen, doi dengan cool-nya nolak. Lha sini nawarinnya permen tiga roda.


***

     
Banyak yang bertanya, "Ke Dieng habis berapa duit?". Per orang merogoh kocek sekitar Rp 165.000, saya lupa kurang atau lebih dari itu. Biaya segitu untuk iuran sewa minibus elf, snack, makan siang, tiket masuk, jajan di angkringan Kawah Sikidang, dan makan malam. Kira-kira garis besarnya begitu. Kalau rincian detailnya saya kurang tahu, karena yang ngurus ini-inu-anu bukan saya. Tanya dong, kalau ke Dieng bawa motor matic kira-kira ngeri tidak ya?



     Perjalanan ke Dieng ini benar-benar memanjakan mata dan hati saya. Destinasi wisata di Dieng yang saya kunjungi ini sebenarnya belum apa-apa. Masih banyak wisata di Dieng yang antimainstream. Dari semua tempat yang pernah saya sambangi (kayak udah kemana aja, Tik!), yang bikin saya pengin balik lagi itu cuma Green Canyon, Ciamis. Tapi sekarang, saya akan tambah satu daftar lagi. Yes. Dieng. Lagipula ada satu hal yang bikin dolan ke Dieng ini belum khatam. Saya belum ngicip mie ongklok! Ada yang mau ajak saya makan mie ongklok? Terus saya penasaran juga, gimana sih rasanya nonton sunrise di Gunung Prau? Mbok aku diajak, mase...

Terimakasih.

Ketjoep!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar